Jumat, 03 Februari 2012

Sosiologi sebagai sebuah ilmu

Sosiologi berasal dari bahasa latin "Socius" yang berarti kawan atau teman, dan "Logos" yang berarti ilmu pengetahuan. Menurut Horton dan Hunt yang dikutip oleh Dwi Narwoko (2004: 2), sosiologi pada hakekatnya bukanlah semata-mata ilmu murni yang hanya mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak demi usaha meningkatkan kualitas ilmu itu sendiri, namun sosiologi bisa menjadi ilmu terapan yang menyajikan cara-cara untuk mempergunakan pengetahuan ilmiahnya guna memecahkan masalah praktis atau masalah sosial yang perlu ditanganinya. 
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial, proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial dan masalah-masalah sosial (Soekanto, 2006: 17). Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soekardi seperti yang dikutip Soerjono Soekanto (2006: 18, mendefinisikan sosiologi adalah ilmu masyarakat yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial. 
Dari beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat dan aspek-aspek kehidupan dalam masyarakat guna memecahkan masalah-masalah sosial yang ada. Sosiologi merupakan sebuah ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan.  Ciri-ciri utamanya adalah sebagai berikut yaitu:
1. Sosiologi bersifat empiris -> ilmu pengetahuan yang didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat.
2.Sosiologi bersifat teoretis -> ilmu pengetahuan yang selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka unsur-unsur yang tersusun secara logis bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori.
3. Sosiologi bersifat kumulatif -> Teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas dan memperhalus teori yang lama.
4. Sosiologi bersifat non etis -> Yang dipersoalkan bukan baik buruknya  fakta tertentu, tetapi tujuannya untuk menjelaskan fakta secara analitis (Soekanto, 2006: 13).
Daftar Pustaka:
Dwi Narwoko J. (2004). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada

Soerjono Soekanto. (2006).  Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


Selasa, 17 Januari 2012

Emile Durkheim













Meskipun begitu, dalam tulisan kali ini, kita tidak akan membahas Durkheim sebagaimana umum dijumpai di buku sekolah. Yang akan dibicarakan di sini adalah gagasan Durkheim yang agak lebih ‘gelap’ dan serius, yaitu “bunuh diri sebagai gejala sosial”.

Mengapa Durkheim tertarik membahas tentang bunuh diri, nah, ini ada ceritanya lagi.
Sebagai seorang sosiolog, Durkheim menilai bahwa peristiwa bunuh diri tidak terjadi hanya dipicu kondisi mental. Barangkali benar bahwa orang tertentu punya kecenderungan bunuh diri lebih kuat daripada orang lain. Akan tetapi, Durkheim menambahkan: bahwasanya terdapat variabel eksternal yang berpotensi memicu orang bunuh diri. Entah itu berupa tuntutan sosial, perubahan zaman, atau lain sebagainya. Hal ini disebutnya sebagai “faktor kosmis” pemicu bunuh diri.
Nah, premis di atas kemudian menjadi tulang punggung karya beliau yang berjudul Suicide: A Study in Sociology. Dalam buku tersebut Durkheim menelusuri ada apa di balik kejadian bunuh diri, dan — yang tak kalah pentingnya — mengapa orang terpicu melakukannya?

Charles Horton

 
C. H Cooley lahir di Michigan, Amerika Serikat, dia adalah anak seorang ahli hukum terkenal yaitu Thomas M. Cooley. Pada mulanya dia belajar teknik mesin elektro, kemudian dia juga belajar ekonomi. Setelah lulus akademis dia bekerja di pemerintahan seperti di departemen komisi pengawas, kemudian juga di kantor sensus. Pada tahun 1892 dia menjadi dosen ilmu ekonomi, politik, serta sosiologi di universitas Michigan. Pemikiran Cooley banyak dipengaruhi oleh George Herbert Mead dan Sigmund Frued.